Cerita Gay, sesama pria, homoseks, cinta sejenis
CERITA SEX GAY,,,,,
Malam mulai berselimutkan hawa dingin ketika aku keluar dari Mall menuju pelataran parkir. Arlojiku menunjukkan pukul 19.30 WITA ketika kustarter sepeda motorku keluar areal parkir. Di jalanan yang ramai lalu lalang kendaraan, kupacu sepeda motorku. Entah mengapa pikiranku hanya tertuju pada satu nama. Gede. Ya, sebuah nama yang selalu hadir dalam kesendirianku dan sebuah nama yang selalu menyertai langkahku. Sebuah nama yang selalu membangkitkan fantasi sex-ku. Pikiranku menerawang sampai aku tidak sadar kalau aku hampir menabrak orang yang sedang menyeberangi jalan.
Aku terus mengendarai sepeda mortorku sambil mengingat wajahnya, tubuhnya dan aroma tubuhnya yang maskulin. Wajahnya yang tampan dengan bekas cukuran kumis dan jenggot yang membiru menambah keseksian wajahnya. Tubuhnya yang putih berukuran sedang dengan perut yang agak gendut semakin membuatku tidak tahan untuk segera bertemu dengannya malam ini. Kuingat tangannya begitu halus dan putih serta ditumbuhi bulu-bulu lebat, ketika pertama kali aku berkenalan dengannya.
Tidak terasa aku pun sampai di depan kostnya. Kuketok pintu gerbangnya, namun tidak ada jawaban. Kuketok lagi pintu gerbangnya, dan samar-samar kudengar langkah kaki menuju pintu gerbang. Tidak lama kemudian pintu gerbang pun terbuka. Nampak olehku seorang perempuan yang berusia sekitar 40 tahunan yang wajahnya cukup kukenal.
“Selamat malam Bu Wayan. Gede-nya ada, Bu..?” tanyaku sambil berharap-harap cemas.
“O, Nak Joko. Ada tuch barusan dia dateng trus sekarang lagi mandi. Masuk dulu Nak Joko. Sepeda motornya masukkan saja,” jawabnya dengan logat Bali yang masih kental.
“Baik, Bu.” jawabku sambil menuntun sepeda motorku dan kuparkir sepeda motorku di tempataku biasa parkir.
Tidak heran Bu Wayan kenal baik denganku, karena aku memang sering bertandang ke rumahnya. Kuliat Bu Wayan sudah tidak kelihatan lagi. Kututup pintu gerbang, kemudian kulangkahkan kakiku menuju kamar Gede. Kubuka pintu kamarnya dan samar-samar kucium aroma wangi khas Bali. Aku segera masuk dan duduk di pinggir dipan. Kupejamkan mataku sambil mnegingat apa yang telah kulakukan dengan Gede sebulan yang lalu. Suatu kenikmatan duniawi yang tidak akan pernah kulupakan. Kurebahkan tubuhku sambil tersenyum dan membiarkan anganku kembali ke masa silam.
Kubuka mataku ketika ada sesuatu yang menyentuh penisku yang menegang. Sontak aku bangun dan kulihat Gede duduk di sampingku. Kucium harum sabun mandi semerbak bercampur dengan wangi-wangian khas Bali. Seketika itu nafsuku menggelegak ketika kulihat Gede duduk di sampingku dengan hanya memakai handuk. Kutatap wajahnya dan kutatap dadanya yang berbulu lebat sampai di daerah pusarnya. Aku hanya dapat menelan ludah. Serta merta kuraih wajahnya dan kukecup lembut bibirnya. Kurasakan ia hendak melepaskan ciumanku. Aku pun akhirnya melepaskan kecupanku. Dalam hati aku heran sendiri.
“Tumben,” katanya singkat.
“Iya nich, aku barusan dari Mall beli celana dalam, terus mampir kesini. Oh ya, gimana kabarnya..?” kataku berbasa basi.
“Ya.., begini ini seperti yang kamu liat sendiri,” jawabnya.
Kurasakan ada yang lain dari ucapannya. Aku heran kok tidak seperti biasanya dia bersikap dingin padaku. Seolah-olah Gede yang sekarang ada di sampingku bukanlah Gede yang kukenal dulu. Gede yang hangat kini menjadi sedingin es di kutub utara. Ketika kutatap matanya, ada pancaran kesedihan yang mendalam.
Guratan di wajahnya menunjukkan betapa ia memendam kesedihan yang mendalam. Wajahnya kian nampak tua di usianya yang masih 31 tahun.
“Kamu sakit?” tanyaku memecah kebisuan.
“Enggak Ko. Aku baek-baek aja kok. Kamu nggak usah khawatir,” jawabnya sambil menundukkan wajahnya.
“Tapi kok kamu lain sekali malam ini. Nggak suka aku main ke sini?”
“Bukan Ko. Bukan karena itu, kamu aja yang terlalu sensitif.”
“Kalo emang bukan karena itu, kenapa lagi? Kamu ada masalah? Masalah kantor? Kalo emang ada masalah, cerita ke aku dong..! Siapa tau aku bisa bantu,” kataku bertubi-tubi sebagai ungkapan rasa penasaranku.
“Enggak Ko. Aku nggak apa-apa kok. Suer.” jawabnya sambil tersenyum.
Kudengar ada yang lain dari nada suaranya.
Kurengkuh pundaknya dan dia pun menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku dan Gede terdiam cukup lama. Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 20.00 WITA, ketika suaraku memecah keheningan malam.
“Gede, aku pulang dulu ya..? Mungkin kamu butuh kesendirian untuk sekedar mnegobati kesedihanmu.”
“Jangan Ko. Aku sangat membutuhkan dirimu malam ini. Kamu nginep aja di sini, ya?”
“Oke kalo emang itu maumu. Aku akan nginep di sini malam ini untukmu. Just for you,” kataku sambil menjentik hidungnya dengan telunjukku. Kulhiat dia tersenyum. Senyum termanis dari seorang yang sangat kusayangi.
“Oke kalo gitu kamu ganti baju, trus kita keluar cari makan,” kataku.
“Oke deh!” jawabnya dengan bersemangat.
Perlahan kulihat Gede melepas handuknya, sehingga tampaklah olehku sesosok tubuh yang hanya dibalut celana dalam. Aku hanya dapat memandangi tubuhnya dengan nafsu yang terpendam. Sesosok tubuh yang sekian lama mengisi hari-hari sepiku. Sesosok tubuh yang terkadang menjadi sahabatku, ayahku dan kekasihku.
Mulanya aku menginginkan Gede dapat menjadi pengganti sosok ayahku yang meninggalkanku ketika aku berusia 18 tahun. Sekian lama aku mencari sesorang yang dapat menggantikan ayahku, dan kini kudapatkan dari sosok seorang Gede. Tetapi ternyata dengan berjalannya sang waktu, aku menginginkan Gede lebih dari sekedar pengganti ayahku. Memang usiaku dengan Gede hanya terpaut 5 tahun, tetapi bagiku Gede adalah sosok yang jauh lebih dewasa dari usianya. Sesosok tubuh yang sangat kebapakan. Sifat kebapakan dan perhatiannya yang membuatku tidak mau terpisah jauh darinya. Seolah-olah ayahku yang telah tiada berinkarnasi menjadi Gede. Tetapi sekarang Gede bukanlah ayahku, dia adalah kekasihku.
Tiba-tiba Gede membuyarkan lamunanku.
“Eh.., jadi makan nggak..? Kalo nggak jadi aku makan kamu nanti, he..!”
“Ayo kalo berani.” jawabku sambil cengengesan.
Kukejar dia, hendak kucubit tetapi dia sudah menjauh dan menstarter sepeda motornya. Tanpa berkata-kata lagi, aku pun langsung naik di belakangnya. Kupeluk erat tubuhnya, sementara ia mulai mempercepat laju sepeda motornya.
Kusandarkan kepalaku di atas pundaknya sambil menikmati aroma wangi tubuhnya. Kupejamkan mataku dan mulai kuhirup dalam-dalam wangi tubuhnya. Keharuman tubuhnya bercampur dengan kesegaran angin malam nan mempesona. Aku turun dari sepeda motor ketika sampai di pelataran sebuah restoran fast food di jantung kota. Restoran fast food yang merupakan restoran tempat pertama kali aku nge-date dengannya. Aku kemudian melangkah mengikuti Gede yang sudah duluan masuk. Gede-pun memesan makanan kesukaannya dan kesukaanku.
“Mbak, pesen paket nasi dua, ayamnya yang sayap aja Mbak..!”
“Apalagi Pak..?”
“Oh ya, french fries jumbo dua,” katanya sambil menyodorkan uang seratus ribuan.
“Terima kasih, Pak.”
Kuliat Gede berjalan menuju ke arahku, “Nich, aku pesenin makanan favorit kamu.”
“Thank’s ya.” jawabku sambil berjalan menuju wastafel yang diikuti oleh Gede.
Akhirnya aku pun menyantap habis makanan yang tersedia di hadapanku.
Setelah mencuci tangan, aku dan Gede keluar dari restoran itu dan langsung pulang ke kost Gede. Arlojiku menunjukkan pukul 21.30 WITA ketika aku turun dari sepeda motor Gede dan melangkah menuju kamar Gede. Suasana rumah sudah mulai sepi, tetapi masih kulihat Nyoman, anaknya bapak kost, masih menonton TV. Aku dan dia saling melempar senyum. Rumah itu memang sepi karena hanya Gede saja yang kost di sana. Gede kemudian membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk. Aku tidak langsung masuk, tetapi aku duduk di teras kamar Gede sambil menyalakan sebatang rokok Marlboro kesukaanku. Aku bakar ujung rokok, dan mulai menghisapnya dalam-dalam, dan kemudian kuhembuskan asapnya keluar mulutku dengan pelan-pelan. Sungguh suatu kenikmatan yang tiada tara.
Aku terus menghisap batang rokokku sambil membiarkan anganku menerawang, memikirkan tentang sikap Gede yang tadi.
“Ko, kamu nggak tidur Ko..?” kata Gede dari dalam kamar.
“Bentar dulu, tanggung nich. Kuabisin rokok dulu,” sahutku dari luar.
Tidak lama kemudian aku mematikan rokokku dan membuangnya ke dalam asbak yang berbentuk penis. Aku hanya dapat tersenyum setiap kali kulihat asbak itu.
Aku masuk dan mengunci pintu kamar. Kulihat Gede sudah ganti baju dan hanya bercelana pendek sedang sibuk mengerjakan tugas kantornya. Kurebahkan pantatku di pinggir ranjang sambil memeperhatikan Gede yang masih sibuk mengutak-atik angka. Aku dan Gede mengobrol dengan hangat. Perlahan kulihat Gede menghentikan aktivitasnya dan mulai melangkah ke arahku. Kemudian dia duduk di atas pahaku dan dengan serta merta merangkul leherku. Aku pun menyambutnya dengan hangat dan memeluk pinggangnya dengan erat. Dengan liar Gede pun melumat bibirku.
Kurasakan ia semakin kuat melumat-lumat bibirku. Dimainkannya lidahnya di rongga mulutku. Aku pun tidak mau kalah. Kukulum bibirnya dan kusedot lidahnya. Kurasakan penisnya menyodok-nyodok penisku yang sudah menegang. Aku dan Gede kian hanyut dalam permainan. Dia terus melumat bibirku sambil tangannya sibuk hendak melepas kaosku. Akhirnya kaosku pun terlepas dari tubuhku. Kurasakan bibir Gede kian nakal melumat bibirku. Bekas cukuran kumis dan jenggotnya yang kasar terasa menusuk-nusuk daerah sekitar bibirku dan membuatku kian terangsang. Kurasakan juga kian kuat ia menyedot lidahku, sampai-sampai aku kesulitan untuk bernafas.
Kemudian kulepaskan pagutannya, dan aku memindahkan sasaran ke telinganya. Kuendus telinganya, kujilat, kukulum. Kudengar ia mendesah lirih. Oughh.. Sasaranku berikutnya adalah lehernya. Kucium dan kujilat lehernya, dan kadang-kadang kusedot dan kugigit dengan mesra hingga meninggalkan noda merah. Dia hanya menggelinjang dan melenguh perlahan. Sasaran kupindahkan ke dadanya yang berbulu lebat dengan buah dada yang gempal. Kujilati putingnya dan kusedot sambil sesekali menggigitnya secara bergantian, kiri dan kanan. Dia semakin terangsang dan semakin kuat dia menggelinjang. Aku terus menjilat, melumat, meremas dan menggigit putingnya.
Kuangkat tubuhnya dan kurebahkan di atas kasur yang empuk. Kutindih tubuhnya dan bibirku kian ganas mempermainkan putingnya, sementara tangannya berpegangan di sisi ranjang. Kuangkat kedua tangannya dan kepalaku menyusup masuk ke ketiaknya. Kujilati daerah di ketiaknya dan tercium olehku bau keringat khas laki-laki yang maskulin dan sexy. Aku terus menjilatinya. Dia hanya menggeglinjang dan mengerang lirih.
Sasaranku berikutnya adalah bagian perutnya yang agak gendut dengan bulu-bulu lebat menghiasi pusarnya. Kujilati pusarnya sambil jari tanganku kumasukkan ke dalam mulutnya. Dia pun mulai menghisap-hisap jariku. Aku kian bernafsu menjilati bulu-bulu lebat di daerah pusarnya, sementara tangan kananku mulai sibuk mengelus dan meremas buah dadanya yang gempal dan berbulu lebat. Akhirnya aku berusaha untuk melepas celana pendeknya dan berhasil sehingga dia hanya bercelana dalam saja. Sasaran kupindahkan ke daerah pahanya yang gempal dan berbulu halus. Kucium..kujilat..dan kadang-kadang kugigit bulu-bulunya. Kujilati paha kirinya sementara tangan kiriku mengelus-elus paha kanannya. Dan kujilati paha kanannya sambil tangan kananku mengelus-elus paha kirinya dengan mesra dan membentuk gerakan yang ritmis. Kurasakan otot pahanya mengejang. Ia menggelinjang sambil mendesah. Dengan nafsu yang berkobar-kobar aku jilati celana dalamnya. Mula-mula bagian buah zakarnya, kemudian naik ke bagian batang penisnya. Kudengar dia mnegerang, sepertinya dia sudah tidak tahan lagi.Aku kemudian menghentikan permainanku dan kurebahkan tubuhku di sisinya. Dia pun tanggap dengan apa yang kuinginkan. Dengan serta merta ia menindih tubuhku dan mulai menyusuri setiap titik tubuhku dengan bibir dan lidahnya. Perlahan-lahan dia pun melepas kancing celanaku dan akhirnya aku hanya mengenakan celana dalam saja. Kemudian posisi berubah menjadi posisi 69. Dia sibuk melepas celana dalamku, sementara aku sibuk melepas celana dalamnya. Akhirnya aku dan Gede-pun telanjang bulat.Kubalik posisi tubuhku hingga aku berada di atasnya. Kucium dan kujilati rambut-rambut lebat yang tumbuh di atas penisnya, kemudian berpindah ke buah zakarnya yang berbulu sambil kukocok penisnya perlahan-lahan. Kujilat dan kukulum buah zakarnya sementara Gede mulai menghisap penisku sambil menepuk-nepuk pantatku. Demi melihat penis Gede yang kian membesar dan berurat itu, aku pun segera melahapnya.
Mula-mula kujilati setiap titik batang penisnya, kemudian kubuka kulupnya sehingga kelihatan kepala penisnya yang besar dan merah. Kucium baunya yang sangat khas, sehingga membuat nafsuku kian menggelegak. Aku mulai menjilati kepala penisnya yang mengkilat dan kemudian memasukkannya ke dalam mulutku. Kukulum dan kusedot penisnya sambil terus mengocoknya perlahan-lahan. Aku terus mengenyot dan menyedot dengan kuat sementara tangan kiriku sibuk mengelus-elus buah zakarnya yang berbulu.
Kuhentikan permainanku dan aku mengambil posisi duduk. Kulumuri lubang pantat dan penis Gede dengan lotion, kemudian perlahan-lahan kumasukkan penis Gede ke dalam luabng pantatku. Mula-mula kepala penisnya susah sekali masuk, tetapi akhirnya sedikit demi sedikit kepala penisnya tenggelam ke dalam lubangku. Kurasakan penis Gede menusuk-nusukku dan kurasakan sakit yang luar biasa. Gede pun berusaha menyodokkan penisnya agar dapat masuk lebih dalam. Akhirnya seluruh bagian penisnya masuk ke dalam lubangku. Aku mulai menggerak-gerakkan pantatku ke atas bawah, sementara Gede mengimbanginya dengan menyodokkan penisnya secara ritmis.
Kurasakan sakitnya mulai hilang, dan yang ada hanya rasa nikmat tiada tara. Sungguh suatu sensasi yang tiada terkira. Aku kian bergairah dan demikian pula halnya dengan Gede. Aku semakin mempercepat gerakan pantatku naik turun, sementara Gede mengimbanginya dengan menyodok-nyodokkan penisnya yang kian menegang dengan irama yang teratur. Aku menaik-turunkan pantatku sambil sesekali menggoyang-goyangkannya perlahan-lahan. Kudengar Gede merintih pelan, demikian halnya denganku. Aku merintih, mendesah dan melenguh pelan.
Aku terus menaik-turunkan pantatku, dan kurasakan Gede menyodokkan penisnya kian keras. Aku terus menggerak-gerakkan pantatku sambil meremas-remas buah dadanya. Kurasakan semakin lama Gede kian keras menyodok lubang pantatku. Semakin keras dia menyodok, semakin ganas pula goyangan pantatku. Akhirnya kurasakan penis Gede berdenyut-denyut, dan dengan keras dia menekan lubang pantatku dan tubuhnya mengejang.
Akhirnya, “Crett.., crett.., crett..!” kurasakan cairan hangat mengalir dalam lubangku.
Kudengar Gede melenguh panjang, “Oughh.., yess..!”
Keringat pun bercucuran dari tubuhku dan tubuhnya. Aku terus menaik-turunkan pantatku perlahan-lahan sambil tanganku mengocok penisku. Semakin lama gerakanku semakin pelan sampai akhirnya aku menghentikan gerakanku. Aku pun mencabut penisnya yang masih menancap di lubang pantatku. Dan kemudian menggeser dudukku, sehingga penisku tepat berada di mulut Gede. Gede-pun tidak menyia-nyiakan penisku, dan serta merta dimasukkan penisku ke dalam mulutnya dan mulai menghisapnya.
Kulepas penisku dari mulutnya, dan kusuruh Gede mengambil posisi Doggy Style. Kujilati lubang anus Gede yang ditumbuhi bulu lebat dengan nafsu yang kian membara, sambil sesekali kutepuk pantatnya. Setelah puas menjilatinya, aku kemudian melumuri lubang Gede dan penisku dengan lotion. Kemudian perlahan-lahan kumasukkan penisku ke dalam lubang pantat Gede yang berbulu lebat. Gede hanya meringis menahan sakit. Aku terus mendorong pantatku sehingga seluruh batang penisku tenggelam dalam lubangnya Gede. Dengan berpegangan pada pinggang Gede yang basah oleh keringat, aku mulai memaju-mundurkan pantatku. Penisku pun sukses maju mundur dalam lubang Gede.
Aku terus memaju-mundurkan pantatku sambil menarik pinggang Gede. Semakin lama semakin keras dan semakin cepat aku menggerakkan pantatku dan semakin keras pula aku dan Gede melenguh. Akhirnya kurasakan penisku berdenyut-denyut dan kurasakan otot pahaku mengejang.
Akhirnya, “Crett.., crett.., crett..!”
Dengan melenguh panjang, aku pun mengeluarkan spermaku dalam anus Gede. Aku memperlambat gerakanku sambil melakukan penetrasi sampai akhirnya kucabut penisku dari lubangnya Gede dan kupukul-pukulkan penisku di pantat Gede, sperma pun bercipratan di pantat Gede yang gempal. Kurasakan tubuhku basah oleh keringat.
Akhirnya kujilati spermaku yang bercampur dengan keringat yang menempel di pantat Gede yang berbulu halus. Akhirnya aku dan Gede telentang di tempat tidur. Sungguh suatu perjuangan panjang yang sangat melelahkan. Aku dan Gede pun merasakan sejuta kenikmatan yang diperoleh dari suatu perjuangan yang maha berat. Aku pun merapatkan tubuhku ke tubuh Gede yang basah oleh keringat, dan kusandarkan kepalaku di atas lengannya yang kokoh. Aku dan Gede tersenyum puas. Perlahan-lahan aku bangun mengambil rokokku dan kemudian kusandarkan tubuhku di dinding kamar sambil menyalakan rokokku.
Kulihat Gede beringsut mendekatiku dan menyandarkan kepalanya di tubuhku. Kusedot rokokku dan kuhembuskan asap rokok, sehingga kamar itu menjadi penuh dengan asap rokok.
Kepulan asap rokok mulai membumbung ke langit-langit kamar ketika kudengar Gede berkata, “Ko, terima kasih ya. Aku janji aku nggak akan pernah ngelupain kamu.”
Demi mendengar kata-katanya, aku terkejut bukan kepalang, “Kenapa kamu ngomong seperti itu? Apa sich maksudmu?” tanyaku penuh rasa penasaran.
“Ko, mungkin ini malam terakhir kita bisa bersama.”
“Emangnya kamu mau kemana?”
Gede tidak menjawab pertanyaanku, tetapi dia malah beranjak dari tempat tidur dan mengambil secarik kertas dari atas mejanya.
“Ini, bacalah..!”
Aku pun mulai mengamati kertas itu dan mulai membaca isinya, kalimat demi kalimat. Kukepulkan asap rokok sambil terus membacanya. Aku pun paham isinya. Ternyata itu adalah surat pindah.
“Ko, aku sudah minta pindah tugas ke Bali. Bukan maksudku untuk ninggalin kamu, tetapi bagaimanapun juga kamu khan tau kalo anak dan istriku menungguku di Bali.”
Demi mendengar penjelasannya, airmataku pun meleleh di pipiku. Aku pun mematikan rokokku yang belum habis sambil pikiranku menerawang membayangkan wajah seorang anak kecil yang masih polos tengah memohon padaku untuk mengembalikan ayahnya pada dia dan ibunya.
Aku teringat saat-saat indah ketika aku bermain bersamanya, saat itu kebetulan ia diajak Gede ke Lombok. Aku teringat betapa manisnya anak itu. Aku teringat betapa akrab di telingaku ketika ia memanggilku, “Om Joko.”
Aku teringat ketika aku dan dia berkejar-kejaran di pantai Senggigi dan masih banyak sekali kenangan antara aku dengan dia yang pastilah akan sangat sulit untuk kulupakan begitu saja. Mengenang itu semua aku tidak tega untuk tidak merelakan kepergian Gede.
“Udahlah Ko, biar kapan pun hal ini pasti akan terjadi juga pada kita dan kuharap kamu dapat memakluminya. Nanti kalo aku udah di Bali kamu boleh main-main ke rumahku.” katanya sambil mengelus rambutku dengan perasaan sayang.
“Aku juga sedih harus berpisah denganmu, tapi aku harus bagaimana lagi? Aku bisa ngerti kok. Terima kasih atas semua yang telah kamu berikan padaku. Kudoain agar kamu bahagia bersama anak dan istrimu di Bali. Salam hormatku buat istrimu dan salam sayangku untuk Rendy.” kataku sambil menahan isak tangisku.
Sungguh suatu perkataan yang terlalu berat untuk kulontarkan, tetapi bagaimana pun juga aku harus tegar mneghadapi semua ini.
Malam itu pun aku tertidur dalam pelukan Gede, dan malam itu menjadi malam terakhirku bersama Gede. Kupeluk tubuh telanjang Gede dengan erat, seolah-olah enggan untuk berpisah. Keesokan harinya Gede memberikan ciuman terakhirnya untukku. Dengan mesra dia melumat bibirku dan aku pun mmebalasnya dengan mesra. Waktu menunjukkan 07.00 WITA ketika aku naik di boncengan sepeda motor Gede.
Aku melepas kepergian Gede sampai di pelabuhan Lembar. Kuantar Gede sampai di atas kapal ferry penyeberangan. Kugenggam erat tangannya seolah-olah enggan melepaskannya. Sirine tanda kapal akan berangkat melengking dengan nyaring ketika ia memberiku secarik kertas bertuliskan alamatnya di Bali lengkap dengan nomor telponnya. Aku segera berlari keluar kapal sambil meremas lembaran kertas itu. Di pinggir pelabuhan kulambaikan tangan ke arah Gede. Kulihat Gede membalas lambaian tanganku. Aku terus melambai dan tanpa terasa air mataku meleleh di pipiku melepas kepergian Gede untuk kembali ke pangkuan anak dan istrinya.
Aku masih berdiri di pelabuhan ketika kulihat kapal ferry yang membawa Gede sudah hanya berupa titik. Aku pun merobek-robek kertas yang diberikan Gede menjadi serpihan-serpihan kecil dan membuangnya ke laut. Kutanamkan dalam hatiku untuk tidak lagi terobsesi dengan Gede. Dengan berat hati kutinggalkan pelabuhan dan berjalan menuju tempat parkir taksi pelabuhan. Akhirnya dengan naik taksi aku kembali ke kost Gede. Di kamar Gede aku merenung dan membuka kembali kenangan indahku bersama Gede. Di kamar Gede tidak kutemukan apa-apa, selain celana dalam Gede yang berbahan katun berwarna putih yang tergeletak di ranjang.
Kuambil celana dalam itu dan kucium baunya sambil memejamkan mataku. Tercium olehku bau penisnya yang maskulin, membuatku selalu teringat akan Gede. Akhirnya aku pamit pada Bu Wayan dan pulang ke rumah. Kusimpan celana dalam Gede dalam lemari pakaianku dan aku yakin itu dapat menjadi obat ketika aku rindu akan sosok Gede.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
TAMAT